Selasa, 26 Juli 2011

Menjelang Ujian


Kapitalisme dan Pendidikan (makalah)


BAB I
PENDAHULUAN

Pada hakikatnya pembicaraan tentang kapitalisme dan pendidikan tidak terlepas dari pembicaraan mengenai kehidupan masyarakat yang terkena dampak globalisasi lebih khusus tentang globalisasi ekonomi. Sehingga nama faham dalam dunia perekonomian yang dianut negara barat yakni Amerika dan sebagian besar Eropa kini telah mengglobal di seluruh negara-negara dunia baik di Asia, Afrika maupun Australia  khususnya bagi negara-negara berkembang yang sangat didominasi oleh negara maju.
Menggali ingatan tentang globalisasi, bahwa globalisasi sebagai proses pengglobalan (mendunia) ditandai dengan beberapa hal, yaitu: pertama, globalisasi terkait erat dengan kemajuan dan inovasi teknologi, arus informasi atas komunikasi yang lintas bangsa dan negara. Kedua, globalisasi tidak dapat dilepaskan dari akumulasi capital, semakin tingginya intensitas arus investasi, keuangan , dan perdagangan global. Ketiga, globalisasi berkaitan dengan semakin tingginya intensitas perpindahan manusia, pertukaran budaya, nilai dan ide yang lintas batas Negara. Keempat, globalisasi ditandai dengan semakin meningkatnya tingkat keterkaitan dan ketergantungan tidak hanya antarbangsa namun juga antarmasyarakat.[1] Maka munculnya kapitalisme yang berdampak pada pendidikan adalah akibat dari globalisasi yang terkait dengan bentuk yang kedua atau globalisasi sebagai akumulasi capital walapun ketiganya memiliki pengaruh yang berkaitan. Maka pembahasan perkembangan kapitalime dan pengarunhnya di seluruh aspek kehidupan manusia termasuk pendidikan bisa tidak bisa dilepaskan dari pembahasan globalisasi itu sendiri.
Dalam realitanya kapitalisme yang mengglobalisasi memiliki pengaruh buruk terhadap proses pendidikan khusunya di Indonesia. Permasalahan yang ditimbulkan oleh kapitalisme terhadap pendidikan di Indonesia merupakan permasalahan yang kompleks  karena telah menjalar pada kebijakan-kebijakan pendidikan yang diambil pemerintah. Selain itu, Keberhasikan kapitalisme dalam mempertahankan sistemnya berbanding lurus dengan terbaliknya hakikat pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang masih dipercaya sebagai upaya memanusiakan manusia justru mendehumanisasikannya seperti yang dipercaya pendidikan Indonesia pada awalnya. Realitanya, anak dan orang yang bunuh diri karena tidak mampu membayar biaya sekolah; guru dan birokrasi pendidikan yang korup, berkualitas rendah jadi antek negara yang membodohi rakyatnya ( di zaman orde baru); kampus yang hanya jadi ajang menjadikan mahasiswa agar hanya bisa tampil keren, konsumtif, tidak produktif (apalagi kritis dan berlawanan); privatisasi dan komersialisasi lembaga pendidikan yang tertuju pada kebijakan BHP; dan lain sebagainya adalah kepingan-kepingan gambar tentang lukisan buram wajah pendidikan kita akibat dampak globalisasi kapitalisme.[2] Oleh karena sangat penting apabila kita sebagai mahasiswa dan calon guru yang tentunya akan menentukan masa depan bangsa untuk memahami dan menyadari bahkan bergerak melakukan perubahan dari terpuruknya pendidikan bangsa akibat pengaruh kapitalisme sebagai dampak globalisasi.



BAB II
ISI

Pengertian Kapitalisme
Secara bahasa Kata kapitalisme berasal dari capital yang berarti modal, dengan yang dimaksud modal adalah alat produksi seperti misal tanah, dan uang. Dan kata isme berarti suatu paham atau ajaran. Jadi arti kapitalisme itu sendiri adalah suatu ajaran atau paham tentang modal atau segala sesuatu dihargai dan diukur dengan uang.[3]
Dalam sejarahnya, seperti yang diungkap oleh Dudley Dillard, kapitalisme adlah istilah yang dipakai untuk menamai system ekonomi yang mendominasi dunia barat sejak runtuhnya feodalisme. Sebagai dasar bagi setiap system, yang disebut “kapitalis” ialah hubungan-hubungan di antara pemilik pribadi atas alat-alat produksi yang bersifat nonpribadi (tanah, tambang, instalasi industry, dan sebagainya yang secara keseluruhan disebut modal atau kapital) dengan para pekerja yang iarpun bebas namun tak punya modal, yang menjual jasa tenaga kerjanya kepada majikan. Di bawah kapitalisme, keputusan yang menyangkut produksi dibuat oleh kaum bisnis swasta dan diarahkan demi keuntungan pribadi. Para pekerja itu bebas dalam arti bahwa secara hokum mereka tidak dipaksa untuk bekerja kepada para pemilik alat produksi itu. Namun demikian, karena para pekerja itu tidak memiliki alat produksi yang diperlukan untuk bekerja sendiri, mereka dipaksa oleh kenisccayaan ekonomis untuk menawarkan jasa, dengan syarat tertentu kepada para majikan yang mengendalikan alat produksi. Hasil tawar-menawar yang menyangkut upah akan menentukan proporsi di mana produksi total masyarakat akan di bagi antara kelas pekerja dengan kelas wiraswasta kapitalis.[4] Sehingga kapitalisme diarahkan pada paham yang inti semuanya adalah semua kegiatan produksi dan distribusi barang yang dihasilkan oleh pemilik modal.
Kapitalisme muncul setelah feodalisme runtuh dengan secara garis besar terbagi menjadi tiga fase:[5]
1.      Kapitalisme Awal ( 1500 – 1750 ).
Kapitalisme pada fase ini masih mengacu pada kebutuhan pokok yang ditandai dengan hadirnya industri sandang di Inggris sejak abad XVI sampai abad XVIII. Dan berlanjut pada usaha perkapalan, pergudangan, bahan- bahan mentah, barang- barang jadi dan variasi bentuk kekayaanyang lain. Dan kemuadian berubah menjadi perluasan kapasitas produksi, dan talenta kapitalisme ini yang kemudian hari justru banyak menelan korban.
2.      Kapitalisme Klasik ( 1750 – 1914 ).
Kapitalisme pada fase ini merupakan pergeseran dari perdagangan public kebidang industri yang ditandai oleh Revolusi Industri di Inggris dimana banyak diciptakan mesin- mesin besar yang sangat menunjang industri. Di fase inilah terkenal tokoh yang disebut “bapak kapitalisme” dengan bukunya yang sangat tekenal the Wealth Of Nations ( 1776 ) dimana salah satu poin ajarannya laissez faire dengan invisible hand-nya ( mekanisme pasar )dan beberapa tokoh seangkatan seperti David Ricardo dan John Stuart Mills,yang sering dikenal sebagai tokoh ekonomi neo- klasik. Pada fase inilah kapitalisme sering mendapat hujatan pedas dari kelompok Marx.
3.      Kapitalisme Lanjut ( 1914 – sekarang ).
Momentum utama fase ini adalah terjadinya Perang Dunia I, kapitalisme lanjut sebagai peristiwa penting ini ditandai paling tidak olehtiga momentum. Pertama, pergeseran dominasi modal dari Eropa ke Amerika. Kedua, bangkitnya kesadaran bangsa- bangsa di Asia dan Afrika sebagai ekses dari kapitalisme klasik, yang kemudian memanifestasikan kesdaran itu dengan perlawanan. Ketiga, revolusi Bolshevik Rusia yang berhasrat meluluhlantakkan institusi fundamental kapitalisme yang berupa pemilikan secara individu atas penguasaan sarana produksi, struktur kelas sosial, bentuk pemerintahan dan kemapanan agama. Darisana muncul ideology tandingan yaitu komunisme.
Perspektif Teori Dasar Kapitalisme Secara Sosiologis Dan Ekonomis
Secara sosiologis paham kapitalisme berawal dari perjuangan terhadap kaum feudal, salah satu tokoh yang terkenal Max Weber dalam karyanya The Protestan Ethic of Spirit Capitalism, mengungkapkan bahwa kemunculan kapitalisme erat sekali dengan dengan semangat religius terutama kaum protestan. Pendapat Weber ini didukung Marthin Luther King yang mengatakan bahwa lewat perbuatan dan karya yang lebih baik manusia dapat menyelamatkan diri dari kutukan abadi. Tokoh lain yang mendukung adalah Benjamin Franklin dengan mottonya yang sangat terkenal yaitu “Time Is Money”, bahwa manusia hidup untuk bekerja keras dan memupuk kekayaan.
Secara ekonomis maka perkembangan tidak akan pernah akan bisa lepas Dari sang maestro, Bapak kapitalisme yaitu Adam Smith dimana ia mengemukakan 5 teori dasar dari kapitalisme:
a.       Pengakuan hak milik pribadi tanpa batas – batas tertentu.
b.      Pengakuan hak pribadi untuk melakukan kegiatan ekonomi demi meningkatkan status sosial ekonomi.
c.       Pengakuan adanya motivasi ekonomi dalam bentuk semangat meraih keuntungan semaksimal mungkin.
d.      Kebebasan melakukan kompetisi.
e.       Mengakui hokum ekonomi pasar bebas/mekanisme pasar.

Pola, Sifat Dan Watak Kapitalisme[6]
Ada tiga hal yang menjadi pola sifat dan watak dasar kapitalisme, tiga hal tersebut yang melandasi adanya penindasan yang terjadi dari sejak munculnya kapitalisme sampai praktek kapitalisme yang terjadi detik ini. Tiga hal tersebut adalah:
a.       Eksploitasi
Ini berarti pengerukan secara besar-besaran dan habis- habisan terhadap sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia, seperti yang terjadi pada jaman penjajahan, bahkan sampai sekarang meskipun dalam bentuk yang tidak sama. Kaum kapitalis akan terus melakukan perampokan besar- besaran terhadap kekayaan alam kita and terus mengeksploitasi para buruh demi kepentingan dan keuntungan pribadi.
b.      Akumulasi
Secara harfiah akumulasi berarti penumpukan, sifat inilah yang mendasari kenapa capitalist tidak pernah puas dengan dengan apa yang telah diraih. Misalnya, kalau pertama modal yang dipunyai adalah Rp.1 juta maka si kapitalis akan berusaha agar bisa melipat gandakan kekayaannya menjadi Rp.2 juta dan seterusnya. Sehingga kaum kapitalis selalu menggunakan segala cara agar kekayaan mereka berkembang dan bertambah.
c.       Ekspansi
Ini berarti pelebaran sayap atau perluasan wilayah pasar, seperti yang pada kapitalisme fase awal. Yaitu dari perdagangan sandang diperluas pada usaha perkapalan, pergudangan, barang- barang mentah dan selanjutnya barang- barang jadi.
Dan yang terjadi sekarang adalah kaum kolonialis melakukan ekspansi ke seluruh penjuru dunia melalui modal dan pendirian pabrik-pabrik besar yang nota bene adalah pabrik lisensi. Yang semakin dimuluskan dengan jalan globalisasi.

Globalisasi Kapitalisme di Indonesia
Dalam konteks Indonesia globalisasi awal (kapitalisme) dapat dirunut mulai abad 19 yaitu berawal dari petualangan para pedagang Eropa seperti Spanyol, Portugis, dan Inggris dan kemudian disusul dengan pedagang Belanda. Di akhir abad 19 modal asing masuk secara besar-besaran ke Indonesia dengan kebijakan pertanahan (agraria law) yaitu menetapkan system sewa jangka dan hak pengusaha  utang sangat ringan dan menguntungkan pengusaha. Dari sini jelas bahwa globalisasi dengan liberasasi ekonomi dan monopoli perdagangan benar-benar terjadi sejak lama dan telah menyengsarakan rakyat Indonesia saat ini.
Globalisasi abad 21 ini tentu semakin sistematis dan canggih, cara kerjanya tidak konvensional seperti sebelumnya tetapi melalui hegemoni, ideology, dan penciptaan undang-undang perdagangan dunia yang menguntungkan para pemodal asing sehingga modal asing mengalir terus, mereka melakukan kerjasama dengan pengusaha pribumi dalam perdagangan dan industry otomotif. Hal ini berakibat kepada bangkrutnya perusahaan-perusahaan pribumi sebab mereka tidak mampu bersaing dengan pemodal asing.tidak mampu bersiang dengan pemodal asing dan industry asing modern.[7] Globalisasi dunia tidak akan terlepas dari globalisasi ekonomi yang menurut pemakalah adalah ekonomi merupakan sumber awal globalisasi di dunia yakni dalam realitanya berkembanglah system ekonomi kapitalisme termasuk di negara berkembang seperti di Indonesia.

Kapitalisme dan  Implikasinya Terhadap Pendidikan Di Indonesia
Sejarah Invansi Kapitalisme ke Pendidikan Indonesia
Kapitalisme pendidikan di Indonesia bisa dilacak dari tindak tanduk dan tunduknya pemerintah pada WTO . badan imperialisme ini bermula dari dirumuskannya General Agreement Of Tariffs and Trade (GATT), atau kesepakatan umum tentang tarif-tarif dan perdagagan. GATT ini didirikan atas dasar  perjanjian di Jenewa, Swiss pasca perang dunia berakhir, tepatnya pada oktober oktober 1947. GATT lahir untuk membobol dinding-dinding yang menghalangi perdagangan antar Negara baik berupa proteksi-proteksi maupun tarif bea cukai. Ini lantas dirumuskannya the Washington Consensus  atau konsensus Washington (1989-1990) yang salah satu butir dari 10 butir rumusannya berbunyi “public expenditure” yang intinya mengarahkan kembali pengeluaran masyarakat untuk bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, sehingga beban tanggung jawab pemerintah berkurang. Demi membentuk badan yang lebih perkarsa, GATT ini lantas berevolusi menjadi WTO pada 1 Januari 1995. Sebelumnya Indonesia sudah memberikan restu melalui UU no. 7 tahun 1994. UU yang ditanda tangani saat zaman pemerintahan Soeharto merupakan persetujuan sekaligus pengesahan atas Agreement Establishing World Trade Organization (WTO) atau kesepakatan pendirian organisasi perdagangan dunia.
Indonesia pada tahun yang sama juga menerima program world bank atau bank dunia yang merambah dunia pendidikan,  proyek itu bernama University Research For Graduate Education (URGE). Proyek ini diteruskan dengan proyek-proyek lain yaitu, Development Of Undergraduate Education (DUE), Quality Of Undergraduate Education (QUE). Proyek -proyek ini dilaksanakan bukan untuk tujuan amal atau derma sosial melainkan untuk meliberalisasi pendidikan. Proyek liberalisasi ini disusul dengan proyek yang disponsori UNESCO yaitu Higher Educations For Competitiveness Project (HECP). HECP ini dikemudian hari berevolusi menjadi Indonesia Managing Higher Education For Relevance And Efficiency (IMHERE). Liberasi semakin tampak terang, terbukti dari salah satu indikator kuncinya adalah pembangunan struktur hukum yang koheren pendukung efektivitas otonomi kelembagaan (baca: privatisasi). privatisasi dalam pendidikan ini akan berbentuk BHP. regulasi pem-BHP-an semua institusi pendidikan di Indonesia itu diperintahkan pada pemerintah Indonesia agar disahkan paling lambat tahun 2010. untuk membiayai proyek liberalisasi, otonomisasi, atau lebih lugasnya privatisasi dan komodifikasi pendidikan Indonesia itu, dilancarkanlah loan agreement – ibrd – no. 4789-ind dan development credit agreement – ida – no. 4077-ind schedule 4. dua perjanjian itu tidak lain dan tidak bukan adalah perjanjian hutang untuk membiayai IMHERE dengan besaran total us$ 98.267.000,-. 

Privatisasi dan Komiditasi Pendidikan Sebagai Dampak Globalisasi Kapitalisme
Pada intinya globalisasi kapitalisme pendidikan bersumber pada sepuluh kebijakan yang dirumuskan dalam Neoliberal Washington Consensus, di mana seluruh ajaran ini membawa pengaruh yang luar biasa terhadap formasi system social, ekonomi, politik, dan budaya. Pendidikan sebagai salah satu system social, juga mengalami dampak yang sama. Konsekuensi yang harus dibayar oleh lembaga pendidikan adalah perubahan logika pendidikan yakni lembaga pendidikan berupa sekolah dan perguruan tinggi yang semula merupakan pelayanan public (public servant) dengan memposisikan siswa dan mahasiswa sebagai warga Negara (citizein) yang berhak mendapat pendidikan yang layak. Namun, ketika status BHMN menjadi target, PTN (privatisasi pendidikan) tidak lebih sebagai produsen, sedangkan mahasiswa dan siswa sebagai konsumennya. Jalinan relasioonal yang membentuk pun mengarah pada tranksaksi harga antara penjual dan pembeli, sementara produk (output) adalah pesanan dari pemodal untuk memenuhi kebutuhan produsen dan mengabaikan aspek keasadaran kritis. Dengan demikian pendidikan yang semua sebagai aktivitas social budaya berubah menjadi komoditas usaha yang yang siap diperjualbelikan dan menjadi ajang mencari keuntungan.[8]
Privatisasi yang pada mulanya merupakan kebijakan yang berkaitan dengan ekonomi dan pasar, juga merambah dunia pendidikan. Peter W. Cookson Jr Peter merupakan penentang kebijakan privatisasi pendidikan. Argumen yang dikemukakan dilandaskan atas adanya kekhawatiran bahwa privatisasi dalam pendidikan justru bisa menjadi ancaman bagi masyarakat dan kelangsungan demokrasi. Argumen ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Mansour Fakih bahwa komodifikasi pendidikan hanya akan mengancam keberlangsungan kemanusiaan. Peter meyakini bahwa pendidikan merupakan ruang politik, budaya dan pendidikan itu sendiri yang jika dikelola dengan baik maka akan menjadi pemicu perkembangan civil society dan demokrasi.
Berkaitan dengan argumen pasar, Peter menjelaskan ketidaksetujuannya dengan berangkat dari pertanyaan besar, apakah argumen pasar benar-benar mampu memberikan layanan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat akan pendidikan. Logika yang dipakai adalah jika pasar memang mampu memberikan pelayanan dengan adil dan baik, maka ia tidak perlu diragukan untuk bisa diaplikasikan dalam bidang pendidikan. Namun sebaliknya, jika pasar tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik, maka penerapan logika pasar dalam bidang pendidikan pun harus diragukan, bahkan ditolak sama sekali.
Dengan mengutip data dari ekonom Amerika John Kenneth Galbraith, Peter menyatakan bahwa argumen privatisasi berasal dari teori kapitalisme laissez-faire yang berdasar pada kompetisi, pilihan dan tanggung jawab individu. Peter dengan gamblang menganalogikan teori yang sering kali digunakan sebagai “dalil” ini, dengan teori tentang bumi yang datar. Teori datarnya bumi runtuh dengan adanya ekspedisi mengelilingi bumi yang akhirnya membuktikan bahwa bumi adalah bulat. Pun dalam teori bahwa pasar dapat memberikan bagian yang adil juga perlu dibuktikan.
Privatisasi pendidikan mulai merambah dunia pendidikan Indonesia pada tahun 2003 dengan kemunculan Undang Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan perubahan status empat Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). PTN yang berubah statusnya tersebut adalah UI, ITB, IPB, dan UGM. Wasana yang digulirkan berkenaan dengan perubahan status PTN tersebut adalah otonomi kampus. Padahal jika dirunut secara kronologis, otonomi kampus yang dimaksud hanya merupakan eufemisme dari privatisasi. Hal ini bisa dimengerti, kerena pemerintah tidak ingin terjadi gejolak dalam pelaksanaan privatisasi di kampus-kampus tersebut. Akibat yang ditimbulkan dari privatisasi PTN tersebut diantaranya adalah komodifikasi kampus dan kenaikan biaya operasional yang eksesnya langsung dirasakan oleh mahasiswa dan calon mahasiswa. Wacana privatisasi pendidikan ini makin menemukan momentumnya di Indonesia, tatkala pemerintah mengajukan RUU Badan Hukum Pendidikan. Sedangakan Komoditasi merupakan proses transformasi yang menjadikan sesuatu menjadi komoditi atau barang untuk diperdagangkan demi mendapatkan keuntungan.[9] Maka komoditi pendidikan jelaslah merupakan implikasi dari privatisasi pendidikan yang mana pendidikan difungsikan untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya.
Maka implikasinya pendidikan sebagai privatisas bercirikan:
1.      Tujuan pendidikan dimakanai proses pemebentukan manusia siap pakai untuk mengisi ruang-ruang usaha public.
2.      Peserta didik dianggap sebgai konsumen pembeli produk pendidikan sebagai syarat  masuk memasuki dunia kerja.
3.      Fungsi Pendidik atau guru dianggap sebagai pekerja.
4.      Pengelola pendidikan dianggap sebagai manajer bisnis pendidikan.
5.      Yayasan pendidikan, sekolah atau perguruan tinggi dianggap sebagai investor.
6.      SPP dianggap sebagai Income dan sumber penghasilan.
7.      Kurikulum dianggap pesanan dari pemilik modal.[10]

Kapitalime dan Filsafat

Apabila pada pembahasan sebelumnya tantangan globalisasi terhadap pendidikan digunakan filsafat pendidikan perenialisme dan rekonstruksionime maka pada pembahasan mengenai kapitalisme menurut pemakalah lebih memilih aliran esensialisme dan perenialisme yang keduanya merupakan aliaran filsafat konservatif yang menentang adanya aliran filsafat progersivisme  yang tumbuh dari filsafat pragmatism. Sedangkan aliran filsafat pragmatism sangat mendukung adanya paham kapitalisme karena aliaran ini menganggap segala sesuatu dilihat dari segi kegunanaan atau manfaat dimana kegunaan dapat dianggap berkaiatan dengan ide mencari keuntungan sebanyak-banyak pada paham kapitalisme.
Pada aliran filsafat esensialisme, menghendaki pendidikan yang bersendikan atas nilai-nilai yang tinggi. Yang hakiki kedudukannya dalam kebudayaan. Nilai-nilai inilah hendaklah yang sampai kepada manusia melalui sivilisasi dan yang teruji oleh waktu. Tugas pendidikan adalah sebagai perantara atau pembawa nilai-nilai yang ada dalam “gudang“ di luar kejiwa anak-anak.[11] Esensialisme tidak menyetujui progresivisme yang menganggap segala sesuatu memiliki sifat serba fleksibel dan nilai-nilai itu berubah secara berkembang. Selain itu pada prinsipnya esensialisme menentang progresivisme yang mengimplikasikan pendidikan hanya pada peningkatan kecerdasan sehingga mengkonsepkan kurikulum yang sangat bersifat eksperimental dan cenderung pada pembelajaran behavioristik. Sedangakan pembelajaran behavioristik adalah pembelajaran yang lebih ditekankan pada pendidikan yang berbasis kapitalisme.
Sedangkan perenilaisme, memandang bahwa keadaan sekarang adalah sebagai zaman oleh kekacauan, kebingungan , dan kesimpangsiuran. Berhubungan dengan itu dinilai sebagai zaman yang membutuhkan usaha untuk mengamankan lapangan moral, intelektual, dan lingkungan social-kultural yang lain. Pada pembahasan tentang nilai oleh aliran perenialisme menyatakan bahwa kebaikan tertinggi adalah nilai yang merupakan satu kesatuan dengan Tuhan serta kebahagiaan dunia yang merupakan bagian dari hidup itu sendiri baru akan tetap tinggal nilainya, bila tidak dikuasai oleh hawa nafsu belaka, sebab taraf ini adalah taraf hidup materiil.[12] Selain itu pada aliran perenialisme diterangkan tentang hakekat manusia itu pertama-tama adalah jiwanya. Serta aliran ini sangat senada dengan aliaran filasafat pendidikan yang bernama neo-humanisme atau neo-Thomisme.Sehingga dapat disimpulkan aliran perenialisme secara otomatis mengkritik kapitalisme yang masuk pada dunia pendidikan karena sifatnya yang hanya berupa materi dan sangat jauh dari sisi kemanusiaan dan sisi teologisnya terutama apabila dikaitkan dengan pendidikan islam.


BAB III
KESIMPULAN

Kapitalisme pada dasarnya menjadikan pendidikan sebagai proses yang tidak humanis atau kapitalisme menyebabkan dehumanisasi pendidikan karena pendidikan sudah tidak dianggap lagi sebagai proses kemanusiaan tetapi proses bisnis dan keuntungan belaka. Namun, keberadaannya tidak dapat dilepaskan begitu saja karena telah melekat kuat pada pendidikan kita setelah selain kapitalisme dibawa dengan proses globalisasi yang sangat kuat serta diperparah pemerintah sendiri secara tersirat menyetujui masuknya kapitalisme dalam tubuh pendidikan melalui kebijakan-kebijakan pendidikan yang dikeluarkannya. Sehingga untuk melepaskan kapitalisme tidaklah mudah bagai membalikkan telapak tangan. Kapitalisme tidak hanya diberantas dengan menjawab tantangan melalui pemikiran filsafat tetapi harus dilanjutkan dengan memperbaiki system yang ada yakni mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah yang sekiranya telah melenceng jauh dari hakikat pendidikan itu sendiri yakni pendidikan yang humanis.



DAFTAR PUSTAKA

Barnadib, Imam. Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: andi offset)
Machali, Imam, Editor. 2004. Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media).
Wahono, Fancis X.  2001. Kapitalisme Pendidikan (Antara Kompetisis Dan Keadilan), (Jakarta: insist press).
http://one.indoskripsi.com/content/sejarah-singkat-kapitalisme-sosialisme, diakses pada tanggal  10 april 2010 pukul 20.00. merupakan makalah yang ditulis oleh pekerja social IMPAS pada diklat IMPAS di Lawang, 19-20 Maret 2004.
M. Dawam Rahardjo, editor. 1987. Kapitalisme Dulu dan Sekarang, (Jakarta: LP3ES).




[1] Imam Machali, Editor, Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2004). Hal, 112.
[2] Fancis X Wahono, Kapitalisme Pendidikan (Antara Kompetisis Dan Keadilan), (Jakarta: insist press, 2001), hal.7
[3] http://one.indoskripsi.com/content/sejarah-singkat-kapitalisme-sosialisme, diakses pada tanggal  10 april 2010 pukul 20.00. merupakan makalah yang ditulis oleh pekerja social IMPAS pada diklat IMPAS di Lawang, 19-20 Maret 2004.
[4] M. Dawam Rahardjo, editor, Kapitalisme Dulu dan Sekarang, (Jakarta: LP3ES, 1987), hal. 19
[5] Op.,cit. http://one.indoskripsi.com/content/sejarah-singkat-kapitalisme-sosialisme, diakses pada tanggal  10 april 2010 pukul 20.00.

[6]Ibid., http://one.indoskripsi.com/content/sejarah-singkat-kapitalisme-sosialisme, diakses pada tanggal  10 april 2010 pukul 20.00.

[7] Op., cit, Imam Machali, Editor, Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi. Hal. 116-117
[8] Ibid., Imam Machali, hal 122
[10] Ibid., Imam Machali, hal 124
[11] Imam barnadib, filsafat pendidikan, (Yogyakarta: andi offset)
[12] Ibid., hal.69