Senin, 25 Juli 2011

Pendidikan Moral


Salah satu masalah Pendidikan Nasional saat ini adalah rendahnya pembinaan dan pendidikan moral yang diperoleh peserta didik, pendidikan lebih berorientasi pada kemampuan akademik supaya siswa sukses dalam melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi dan ke dunia kerja. Pendidikan belum mampu menghasilkan generasi yang memiliki kemapuan akademik dan kemampuan non akademik  secara proporsional. Padahal tujuan Pendidikan Nasional mengarahkan pendidikan untuk menghasilkan generasi yang memiliki kemampuan akademik yang mumpuni sekaligus memiliki moral yang baik.

Kesenjangan antara kedua kompetensi tersebut menandakan bahwa telah terjadi distorsi dalam proses pembelajaran baik di sekolah, rumah, dan masyarakat. Selama ini pelaku pendidik terutama guru dan orang tua bukan tidak melaksakan tugas, tetapi guru dan orang tua belum menjadi teladan bagi anak.

Pendidikan Moral

Proses pendidikan selama ini menghasilkan generasi yang kurang peka terhadap permasalahan-permasalahan sosial, padahal hampir setiap kurikulum yang pernah digunakan dalam pendidikan di Indonesia selalu ada mata pelajaran yang berbasis moral/ahklak/karakter seperti Pendidikan Budi Pekerti, Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) Pendidikan Agama, dan Pendidikan Moral Pancasila (sekarang pendidikan kewarganegaraan).

Tidak efektifnya muatan kurikulum tersebut mengangkat moral bangsa, dikarenakan proses pembelajaranya cenderung pada penanaman dogma-dogma penguasa dan pembelajaran  hanya sekedar transfer teori tentang moral dari guru kepada peserta didik tanpa disertai pembiasaan dan keteladanan guru.

Peserta didik sering dihadapkan pada nilai-nilai yang bertentangan, pada suatu sisi siswa dididik untuk bertingkah laku yang baik, jujur, hormat, hemat, rajin, disiplin, sopan dan sebagainya, tetapi pada saat bersamaan, mereka dipertontonkan (oleh orangtua, lingkungan bahkan oleh gurunya sendiri), hal-hal yang bertolak belakang dengan apa yang mereka pelajari, misal hukuman atau sanksi pelanggaran tata tertib sekolah hanya berlaku untuk siswa sementara guru kebal hukum/sanksi, siswa dilarang melakukan kekerasan tetapi banyak guru melakukan kekerasan terhadap siswa, guru  perokok melarang anak didiknya merokok dan masih banyak peristiwa yang merusak citra profesi guru. Hal – hal yang bertolak belakang inilah yang menyebabkan peserta didik kesulitan dalam mencari figur teladan yang baik (uswatun hassanah) di lingkungannya, termasuk sekolah.

Keteladanan dan pembiasaan orang tua di rumah dan guru di sekolah adalah metode yang paling efektif untuk menumbuhkan akhlaqul karimah pada anak-anak. Guru harus menjadi model  dalam pembelajaran pendidikan moral, baik pada pendidikan moral kebangsaan (nasionalisme) maupun pendidikan moral agama (akhlak). Kegiatan pembiasaan dapat di integrasikan pada proses pembelajaran disekolah misalnya; gotong royong, bhakti sosial, shalat berjamaah, membaca Al-Qur’an dan lain-lain, kegiatan-kegiatan tersebut wajib diikuti oleh warga sekolah termasuk guru, tidak hanya sebagai “penganjur yang baik” kepada anak didiknya.

Kepribadian Guru

Salah satu penyebab rendahnya moral/ahlak generasi saat ini adalah  rendahnya moral para guru dan orangtua. Kecenderungan tugas guru hanya mentransfer ilmu pengetahuan tanpa memperhatikan nilai-nilai moral yang terkandung dalam ilmu pengetahuan tersebut, apalagi kondisi pembelajaran saat ini sangat berorientasi pada peroleh angka-angka sebagai standarisasi kualitas pendidikan.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan Kepribadian guru yang “kurang hidup“ saat ini, antara lain: 1) Proses rekrutmen guru yang mengedepankan kemampuan teknis (hardskills) tanpa memperhatikan kemampuan non teknis (softskills) seperti kemampuan memanajemen diri dan orang lain malahan tidak sedikit lembaga pendidikan merekrut guru dengan tidak memperhatikan kedua keterampilan tersebut. 2) Pendidikan dan Pelatihan guru yang menekankan pada kemampuan guru menguasai kurikulum, dan  3) Tidak dipahaminya profesi guru sebagai profesi panggilan hidup (call to teach), artinya guru merupakan pekerjaan yang membantu mengembangkan orang lain dan mengembangkan guru tersebut sebagai pribadi.

Sertifikasi Guru

Salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh guru adalah kompetensi kepribadian,   hal ini  tercantum dalam Penjelasan PP Nomor 14 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, poin kedua seorang guru harus memiliki kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan bijaksana, berwibawa, berakhlak mulia, menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat, mengevaluasi kinerja sendiri, dan mengembangkan diri secara berkelanjutan.

Berdasarkan PP diatas dapat disimpulkan bahwa guru harus memiliki kompetensi moral yang baik, agar menjadi teladan bagi anak didiknya dan masyarakat. Guru merupakan profesi yang strategis untuk mengurangi keterpurukan moral bangsa ini. Kompetensi kepribadian guru harus menjadi prioritas dibanding kompetensi lainya.

Pengujian kompetensi guru melalui sertifikasi dalam bentuk portofolio beberapa waktu lalu,  tidak (belum) mendeskripsikan integritas moral yang dimiliki oleh seorang guru, padahal kompetensi inilah yang paling substansial dalam proses pendidikan. Sudah saatnya sertifikasi guru memuat instrument/rekaman  moral yang dimiliki oleh guru, kompetensi kepribadian guru dapat di nilai oleh siswa dan masyarakat, jadi dalam penilainya perlu melibatkan keduanya.

Sertifikasi guru akan terus dilaksanakan oleh pemerintah, pada tahun 2008 ini setifikasi guru merupakan program utama Departemen Pendidikan Nasional. Seharusnya program ini dapat menghasilkan guru yang memiliki integritas moral yang baik, berkorelasi dengan meningkatnya moral bangsa dan sebanding dengan biaya yang dikeluarkan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar